Selasa, 24 Februari 2009
Bagaimana seekor burung belajar bernyanyi?
Tuiiiiiiiiiiiittttttttttthhhhhhhhhhhhhh thuuuuuuuuuuu
Tuit tuit tuit tuit tuit tuit tuitttttttttttttttttttttttttt tuuuuuuuuuuuuuuui
Tuiiiittttttttttttt tuitttttttttttttt its nice tooooooo meeeeeeeettttttttt youuuuuuuuuuuu
Jika Anda sedang melintas di pinggiran sungai yang masih rindang dan lebat dengan tanaman bamboo, besar kemungkinan Anda dapat mendengar lantunan si burung sirthu (jawa tengah) atau cipoh (jawa barat) yang saling bersahutan laksana koor lagu nan indah.
Nyanyian burung – sebagai sebuah bahasa isyarat dan tersembunyi burung - yang terdengar lezat bagi kita manusia. Suara-suara dan nyanyian mereka telah lama menjadi candu bagi indera dengar manusia.
Meskipun nampaknya burung-burung memproduksi suara atau nyanyian hanya untuk bersenang-senang, namun sebenarnya terdapat maksud yang penting di dalam riwikan, nyanyian ataupun keciap dan jeritan mereka.¹
Pada sebagian besar spesies burung berkicau, burung jantan lah yang dapat melagukan nyanyian dengan indah. Mereka belajar lagu-lagu tersebut dari ayahnya. Selanjutnya Kozhevnikov menjelaskan, “Jika seekor burung tidak mendengar kicauan dari guru nya, maka burung tersebut TETAP DAPAT MELANTUNKAN LAGU, namun nyanyian yang dia bawakan tidak akan terdengar seperti layaknya burung dewasa yang pandai bernyanyi. Nyanyian burung tersebut akan memiliki susunan yang miskin nada dan melodi, kekayaan akustiknya pun akan sangat terbatas”.
Di dalam dunia burung, kicauan yang asal-asalan akan memiliki konsekuensi yang cukup gawat. Masih menurut Kozhevnikov, "Burung yang gagap atau memiliki kicauan yang kacau akan sulit mendapat pasangan. Satu alasan utama mengapa burung jantan bernyanyi dengan suara hebatnya adalah untuk menarik pasangan hidupnya. Para burung betina akan menjatuhkan pilihan kepada burung jantan dengan nyanyian yang benar-benar membuatnya mabuk kepayang”.
"Jika seekor burung berkicau tidak dapat bernyanyi dengan indah, maka dia tidak akan dapat meneruskan keturunan di dalam populasinya”, demikian penjelasan Kozhevnikov. Alam memang memiliki cara seleksi yang unik, dalam menjaga keindahan nyanyian-nyanyian burung berkicau. Jadi syarat mutlak untuk dapat melanjutkan keturunan di dunia burung, seekor pejantan harus dapat berkicau dengan indah dan merdu, setidaknya terdengar merdu oleh seekor betina sejenis.
"Terdapat sebuah penelitian yang mencoba menemukan aspek-aspek kicauan seperti apa yang sering diminati oleh sang betina. Untuk beberapa jenis burung berkicau, aspek-aspek yang membuat sang betina tertarik adalah presisi tempo kicauan atau kemampuan sang jantan untuk mengulang dan menyuarakan ritme lagu yang sama secara tepat. Belum dapat diketahui alasan selanjutnya. Beberapa dugaan memperkirakan bahwa hanya pejantan yang sehat dan memiliki morfologi dan anatomi yang benar lah yang dapat melantunkan lagu seperti itu. Namun, masih banyak pertanyaan lanjutan tentang hal tersebut.
¹Alexay Kozhevnikov, assistant professor of physics and psychology at Penn State.
Senin, 23 Februari 2009
Sexing Anis Merah (Zoothera Citrina)
Anda memiliki anakan Anis Merah trotolan? Anda yakin dengan jenis kelamin burung Anis Merah Anda? Sexing atau menilik jenis kelamin jenis burung Anis Merah bukanlah hal yang gampang bila dilakukan berdasarkan fisik atau morfologi burung tersebut. Coba deh Anda amati baik-baik gambar anakan Anis Merah di sini. Anda tahu jenis kelamin burung ini? Jika Anda menjawab BETINA, besar kemungkinan Anda akan menjadi seorang kolektor burung Anis Merah yang hebat. Tapi tentu saja Anda juga harus menjadi seorang master dalam merawat burung tersebut.
Minggu, 22 Februari 2009
Penangkaran Burung Berkicau di Alam; Sebuah keharusan yang harus dilakukan!!!
Beberapa penangkar burung di alam adalah manager-manager kawasan konservasi terbaik. Para penangkar burung di alam memiliki tata cara dalam mengambil burung dari alam, menyeleksi dan menjaga habitat burung dari kerusakan bahkan meningkatkan kualitasnya. Kualitas burung hasil penangkaran di alam lebih baik karena masih membawa sifat-sifat “alami” dengan suara yang lebih keras dan “bermental juara”. Meski demikian, keterampilan pemilik dalam merawat dan melatih burung peliharaannya juga menjadi faktor eksternal yang akan menjamin munculnya burung-burung juara.
Perburuan Burung berkicau
Sampai saat ini Anis merah, Pentet / cendet, Cucak ijo dan Sulingan masih sulit ditangkarkan atau bahkan mungkin belum dapat ditangkarkan sama sekali. Fakta bahwa jenis-jenis burung ini masih banyak di alam, mungkin juga dapat dibenarkan. Di sisi yang lain, burung-burung hasil tangkapan bisa jadi berharga jauh lebih murah daripada hasil penangkaran.
Setiap pengepul menampung burung buruan dari, paling sedikit,
Setiap satu ekor burung yang sampai ke tangan pemelihara membutuhkan tumbal tiga ekor burung. Burung-burung ini mati mulai dari saat penangkapan, pengangkutan, perawatan di pasar burung dan perawatan di tangan pemelihara amatiran. Banyak pemburu yang masih melakukan kesalahan saat melepaskan burung atau terlambat melepas burung dari jaring sehingga mengakibatkan adanya burung yang mati sia-sia.
Pengepul membawa burung ke pasar burung dengan angkutan umum dan seringkali tidak menempatkan burung dalam kandang khusus sehingga kematian dalam jumlah besar sulit dihindari. Perawatan yang meng-anaktirikan burung-burung berharga murah di pasar burung juga berujung pada kematian. Lebih dari satu bulan tidak laku, maka banyak burung yang akan mati. Terlebih burung-burung pemangsa, seperti Burung Hantu, Elang dan Alap-alap yang hanya dapat bertahan hidup selama satu minggu di pasar burung.
Pemelihara burung amatiran seringkali melakukan kesalahan-kesalahan mendasar dalam perawatan burung, seperti memberikan pisang dan voer kepada burung madu yang baru saja dibeli di pasar. Fakta-fakta seperti inilah yang sering menjadi perusak citra para pemelihara burung berkicau.
Meski demikian, kita tidak dapat menumpahkan kesalahan sepenuhnya pada pemburu, pengepul, pedagang, dan pemelihara burung amatiran. Ketidak-tahuan, kemiskinan, dan rendahnya akses informasi sepertinya merupakan akar permasalahan yang membutuhkan peran banyak pihak untuk ambil bagian dalam memecahkan persoalan ini. Hujatan dan saling menudingkan tangan tidak akan pernah menyelesaikan permasalahan. Kita, para pecinta burung berkicau mestinya dapat tampil di garis depan dalam menyelesaikan permasalahan ini karena kita adalah korban utama dari mengemukanya persoalan-persoalan ini.
Jika kita tidak mampu bertanggung jawab dalam penyelesaian persoalan, maka bijak kiranya jika kita tidak menjadi bagian dari munculnya persoalan ini. Caranya, menjamin bahwa burung peliharaan kita bukan merupakan burung hasil buruan di alam.
Penangkaran Burung berkicau
Cucak rawa, Jalak uren, dan Jalak bali sudah banyak ditangkarkan. Namun jenis-jenis ini sudah sangat sulit ditemui di alam, bahkan Nash pada tahun 1994 telah mencatat bahwa Cucakrawa telah sangat langka di alam dan kemungkinan telah punah di Jawa (Whitten, dkk.,1999). Sejak tahun 1999 sampai dengan saat ini, laporan Departemen Kehutanan selalu saja menyebutkan bahwa Jalak Bali liar tinggal 15 ekor di Taman Nasional Bali Barat. Alih-alih dapat menghentikan perburuan, penangkaran justru meningkatkan minat para pemburu untuk memperbanyak hasil tangkapannya. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa jenis-jenis burung yang telah berhasil ditangkarkan memiliki harga yang relatif stabil.
Mengambil contoh pada kasus perkutut, penangkaran dapat mengurangi tingkat perburuan karena para pemelihara lebih menyukai keturunan dari burung-burung yang pernah menjadi juara dalam lomba. Hal ini didasarkan pada keyakinan bahwa sifat-sifat “juara” pada perkutut dapat diwariskan. Hal serupa mungkin juga terjadi pada burung kicauan, meski banyak pemelihara burung yang meyakini bahwa perawatan dan latihan yang baik merupakan jaminan terciptanya burung-burung juara.
Berkaca pada kasus Jalak Bali, pelepas-liaran sebagian hasil penangkaran untuk mengembalikan populasi burung agar tidak punah ternyata tidak semudah membuka pintu sangkar burung. Burung hasil penangkaran cenderung lebih jinak dan mulai kehilangan sifat-sifat “alaminya”, sehingga lebih mudah ditangkap kembali oleh pemburu mapun satwa predator. Pengamanan kawasan tanpa membangun kesadaran dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan lagi-lagi hanya seperti menaburkan garam di lautan.
Meski manfaat ekologis penangkaran relatif kecil, namun penangkaran terbukti mampu memberi sumbangan manfaat ekonomi dan sosial yang sangat besar. Banyak kesaksian penangkar menjadi bukti keberhasilan mereka secara ekonomi, bahkan turut serta mengambil bagian dalam membantu upaya pemerintah mengatasi masalah pengangguran. Beberapa penangkar burung Jalak Uren di Klaten, Cucakrawa di Yogyakarta dan Kenari di Malang pernah menyatakan bahwa dari hasil penangkaran burung mereka dapat mengirimkan anaknya belajar sampai perguruan tinggi.
Pembuatan sangkar, gantangan, penyediaan pakan hidup, dan perawatan intensif anakan burung yang baru menetas merupakan serangkaian pekerjaan yang akan hilang jika tidak ada penangkaran. Padahal para pekerja dibidang penangkaran seringkali adalah orang-orang yang tidak tertampung dalam skema pengembangan ekonomi yang dijalankan pemerintah. Beberapa pengrajin sangkar burung di daerah Kulonprogo, DI.Yogyakarta adalah para penyandang cacat yang sudah berulang kali ditolak saat melamar pekerjaan.
Penangkaran juga memberi kesempatan bagi pemanfaatan lahan di daerah perkotaan secara intensif. Banyak para penangkar burung yang hanya memanfaatkan sebagian kecil dari ruangan di dalam rumah untuk memperoleh pendapatan yang cukup besar.
Penangkaran menjadi kunci tetap berlangsungnya hobi pemeliharaan burung kicauan ketika hasil tangkapan dari alam tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan. Hal ini membuktikan bahwa tanpa adanya penangkaran, perputaran uang dari hobi pemeliharaan burung yang mencapai lebih dari 700 milyar rupiah setiap tahun (www.burung.or.id) tidak akan terjadi.
Penangkaran di alam
Praktek penangkaran burung di alam telah berlangsung bertahun-tahun di sekitar kita,namun mungkin masih awam bagi kita. Istilah penangkaran di alam dimunculkan untuk membedakan dengan penangkaran di kandang dan perburuan dengan jaring. Penangkaran di alam merupakan praktek perburuan selekif ditambah penjagaan dan peningkatan kualitas habitat burung di alam. Praktek konservasi kawasan ini kurang mendapat perhatian karena merupakan karya masyarakat
Penangkaran di alam menggabungkan kegiatan pemanenan burung dari alam, kegiatan perlindungan habitat burung dari kerusakan, dan serangkaian kegiatan pelestarian.
Beberapa pemburu Perkutut mendasarkan pembatasan jumlah tangkapan berdasarkan petung jumlah hari, misalanya di hari Rebu Legi, maka seorang pemburu hanya akan menangkap 12 ekor burung.
Kegiatan perlindungan dilakukan dengan menjaga tempat-tempat pengambilan burung atau habitat, dari perusakan. Sebagai contoh, beberapa pemburu di Gunung Muria, yang melarang siapapun mengambil rumput dan semak-semak pada tempat pemburu biasa menangkap burung. Di Bali, para penangkar di alam hanya boleh mengambil anakan Anis merah dari kebunnya sendiri. Saat ini Yayasan Kutilang
Sementara itu kegiatan pelestarian dilakukan dengan memperbaiki habitat dan meningkatkan jumlah panen. Misalnya dengan penanaman pohon-pohon yang disukai burung dan memasang sarang buatan. Yayasan Kutilang
Berjalannya kegiatan penangkaran di alam akan menjamin keberlanjutan hobi pemeliharaan burung berkicau. Penangkaran burung di alam merupakan muara tempat bertemunya nilai-nilai sosial, ekonomi dan ekologi dari hobi pemeliharaan burung berkicau. Kedepan dengan hanya memelihara burung hasil penangkaran di alam, para pemelihara burug berkicau akan terhindar dari tuduhan sebagai eksploitator burung di alam. (Kutilang