Selasa, 03 Maret 2009

Bagaimana seekor burung belajar bernyanyi? (2)


Kozhevnikov melakukan penelitian yang berfokus pada “apa yang terjadi dalam otak burung ketika mereka bernyanyi”. Dengan sample burung Zebra Finch dan Bengales Finch (keduanya umum dipelihara oleh manusia), dia berharap dapat mempelajari lebih jauh tentang hubungan antara syaraf otak burung dan proses belajar bernyanyi seekor burung.

Hanya sedikit binatang yang mampu mendengarkan suara dan mereproduksi suara yang mereka dengar tadi, seperti halnya kita manusia. Burung, kelelawar, ikan paus dan lumba-lumba adalah contoh “para pereproduksi suara”. Burung berkicau belajar bernyanyi dengan cara yang sama sebagaimana seorang bayi belajar berkata-kata. Seekor burung berkicau bahkan dapat menirukan suara bayi yang sedang belajar berbicara. Beberapa spesies burung berkicau dapat menguasai beberapa suara dan belajar untuk merangkaikan suara-suara tersebut dengan urut-urutan yang berlainan, sebagaimana halnya manusia belajar merangkai kalimat yang berbeda dengan beberapa kata yang sama.

Dengan menggunakan sebuah media kecil dan ringan yang tidak mengganggu si burung untuk tetap bernyanyi di sangkar, Kozhevnikov mengukur sinyal elektrik dari syaraf daerah otak burung yang digunakan untuk menghasilkan nyanyian. Daerah otak tersebut disebut dengan vocal center (pusat vocal). Kozhevnikov menemukan bahwa burung tersebut memiliki kemampuan untuk mengulang ritme yang sama dalam hitungan millisecond, artinya seratus kali ketukan ritme per detik nya.

Jam biologis burung berjalan dengan sangat tepat. Meskipun syaraf bukanlah sesuatu yang selalu tepat dan pas, namun alam telah membuat jalinan syaraf otak burung benar-benar pas. Ditinjau dari kajian khasanah ilmu mesin dan syaraf, apa yang dimiliki oleh burung (ketepatan)adalah suatu hal yang sangat mengagumkan.

Susunan otak burung tidak sama dengan susunan otak manusia, namun dapat kita temukan bukti bahwa terdapat banyak sekali kecanggihan dunia teknik mesin di dalam kepala burung yang mungil tersebut.

“Ukuran kepala tidak dapat dijadikan dasar untuk menentukan kecerdasan,” kata Kozhevnikov. “Sebuah lagu yang dilagukan burung adalah sebuah rangkaian dari beberapa aktivitas. Bila diukur dari kemampuan seekor burung dalam mempelajari rangkaian-rangkaian tersebut, otak burung menunjukkan bukti berbagai kemampuan yang sangat menakjubkan”.


Sumber: Lisa Duchene

Alexay Kozhevnikov, Ph.D., is an assistant professor of physics and psychology in the Eberly College of Science. His e-mail is aak10@psu.edu.

Senin, 02 Maret 2009

Kanibalisme dalam kehidupan dunia burung


Tingkah laku burung terkadang mengejutkan dan menimbulkan tanda tanya besar dalam benak kita bila kita tidak tahu apa penyebabnya dan apa yang harus dilakukan untuk mencegahnya. Contoh nyata yang sering membuat para penangkar burung pusing 17 keliling adalah KANIBALISME burung, indukan yang mematikan anakan dan menggagalkan telur mereka sendiri. Jawaban ilmiah yang dapat disampaikan beradasarkan penelitian para ahli melalui riset atau kajian teknis adalah adanya PROSES BIOLOGIS DALAM TUBUH BURUNG MEMPENGARUHI PERILAKU BURUNG.

Ketika burung berkicau telah sempurna dengan bulu dewasa maka secara bertahap mereka mulai memproduksi hormon testosteron dalam jumlah yang lebih banyak. Hormon ini akan menghasilkan frekuensi kicauan burung jantan, agresivitas terhadap burung jantan yang lain dan memulai ketertarikan terhadap burung betina. Hormon tersebut membuat burung menjadi lebih berlibido tinggi dan memiliki naluri untuk mendominasi.


Setelah sang jantan berhasil menguasai daerah kekuasaan dan berhasil mendapatkan pasangannya, maka sepasang burung tersebut akan segera memulai babak baru dalam fase pembuatan sarang hingga akhirnya berdua merawat anak-anaknya. Untuk berada dalam kondisi tersebut tingkat hormon testoteron pada burung harus turun dan digantikan dengan hormon yang mendukung naluri mengurus keluarga. Jadi itulah yang sebenarnya terjadi. Ketika sepasang burung mulai mencari tempat yang pas guna meletakkan sarang, membuat sarang dan mengerami telur, tingkat hormon testoteron secara berangsur menurun dan digantikan dengan hormon prolactin. Hormon prolactin inilah yang akan mempengaruhi tingkah laku burung menjadi pengasuh bagi anak-anaknya.

Prolactin akan tetap menjadi hormon yang mendominasi dalam tubuh burung betina dan jantan pada masa mengeram hingga telur menetas. Dengan ketersediaan hormon prolactin dalam diri mereka, maka pasangan tersebut akan merawat dan menyuap anak-anak mereka dengan baik. Masalah terjadi apabila tingkat prolactin turun namun hormon testoteron meningkat ketika sang betina mengeram atau telur mulai menetas. Meningkatnya hormon testoteron membuat pasangan tersebut memiliki libido tinggi dan bernaluri untuk memproduksi lagi telur-telur baru. Hormon testoteron inilah yang membuat mereka tidak mengenali lagi telur-telur yang mereka erami atau anakan-anakan mereka sendiri yang baru saja menetas. Konsekuensi dari peningkatan hormon testoteron inilah yang membuat mereka merusak telur dan membunuh anak-anaknya sendiri (karena mereka tidak mengenali telur dan anak-anak tersebut adalah keturunannya). Sangat dipercayai bahwa meskipun burung-burung tersebut berada di dalam kandang penangkaran yang ideal dengan perawatan yang cukup, namun PENINGKATAN TESTOTERON di dalam tubuh burunglah yang menjadi penyebab utama mereka menjadi kanibal. Asumsi tersebut diperkuat dengan fakta bahwa dalam selang waktu beberapa hari setelah mereka memecah, menyingkirkan telur dari sarang atau membuang anakan-anakan mereka, maka sang betina segera mengerami telur barunya.

Penyebab lain yang dapat membuat pasangan burung menjadi kanibal adalah kurangnya asupan makanan tertentu yang mereka butuhkan untuk menyuap anak-anak mereka, gangguan yang sering dilakukan oleh manusia, hewan-hewan penganggu (tikus, kucing, bahkan kutu). Dua yang terakhir ini sering dilakukan oleh burung-burung yang berkembang biak di alam bebas.

Pertanyaan baru muncul "Faktor apa sajakah yang dapat memicu hormon testoteron burung sehingga mereka menjadi hilang kesadaran dan menjadi predator bagi anaknya sendiri?"

Belum dapat ditentukan beberapa penyebab yang dapat menaikkan hormon testoteron. Tetapi terdapat satu penyebab yang sangat jelas yaitu ancaman dari burung sejenis yang dibawa masuk ke area penangkaran. Ancaman tersebut berupa kicauan burung pejantan asing yang masuk ke wilayah burung yang sedang mengeram atau memiliki anakan baru. Siulan manusia yang sering didengarkan oleh burung atau siulan dalam interval waktu yang cukup lama (15 menit) pun dapat menjadi pemicu naiknya hormon tersebut (karena juga memberikan ancaman psikis).

Bila ancaman tersebut terjadi maka pasangan burung akan segera menunjukkan perilaku pertahanan diri dengan kicauan dan gerak gerik yang menunjukkan amarah. Tingkah laku tersebut akan terus dilakukan untuk mengusir pendatang baru (lawan). Dan itu akan terus berlanjut bahkan setelah burung asing tersebut telah diasingkan atau dibawa pergi dari area penangkaran. Pada kondisi seperti itulah hormon testoteron akan tetap berada pada kondisi tinggi, sehingga burung menjadi beringas dan lupa daratan. Semua itu dilakukan sebagai mekanisme pertahanan wilayah dan naluri dominasi. Pada hari berikutnya (biasanya) pasangan tersebut akan mematuk telur, mengeluarkan telur dari sarang, mematuk anakan, menyingkirkan (membuang) anakan dari sarang.

Jangan PERNAH MEMBAWA BURUNG BARU ke dalam daerah penangkaran Anda, apalagi bila terdapat burung yang sedang mengeram, dan juga larang setiap orang untuk selalu bersiul di daerah/kandang penangkaran, apalagi melongok-longok kandang sambil bersiul-siul kencang. DILARANG KERAS!!!!!

Sumber : http://www.shama.com